KISAH BATU GANTUNG PERAPAT
Kencan Sondang dan Togar kali ini
sangat berbeda dan lebih istimewa dari biasanya. Bagaimana tidak? Togar melamar
dia saat mereka sedang berjalan-jalan ke Danau Toba. Kapal yang mereka naiki
mendekat pada batu gantung. Memang begitulah biasanya agar para wisatawan bisa
mengabadikan Batu Gantung yang melegenda itu di dalam kamera mereka.
Suasana kapal berisik karena para
wisatawan di dalam kapal berlomba mengabadikan Batu Gantung tersebut. Tiba-tiba
Togar menarik tangan Sondang menuju moncong kapal seolah-olah mereka ingin
melakukan adegan titanic. Muka Sondang memerah saat Togar menggenggam erat
jemari Sondang dan menatapnya serius.
“Aku ngomongnya di sini saja yach?” Kata
Togar.
“Apa?”
“Aku mau melamar kamu…” Kata Togar tanpa
tedeng aling-aling. Sesaat waktu seperti berhenti, kedua mata saling beradu.
Angin di Danau Toba yang kencang menyerakkan rambut panjang Sondang.
“Serius” Kata Togar meyakinkan Sondang. “Batu
gantung ini akan menjadi saksi cinta kita.”
Sondang terharu dan menatap kearah batu gantung
yang melegenda itu. Togar menunggu jawaban dari Sondang tetapi Sondang masih
tetap diam membisu tak tahu harus menjawab apa.
“Ayolah…” Togar memohon. Tiba-tiba
Sondang mengangguk pelan dan disambut tawa bahagia Togar sambil memeluk
Sondang.
“Ini perjanjian kita!” Kata Togar sambil
menggoyang-goyangkan telunjuknya kearah wajah Sondang seperti takut dikhianati
Sondang suatu saat. Tangannya merogoh isi kantungnya dan mengeluarkan sebuah
cincin sebagai tanda cintanya membuat Sondang tak mampu menahan senyum. Togar
menyarungkan cincin itu ke jemari Sondang sambil berkata. “Barangsiapa
melanggar perjanjian kita. Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.”
Kata Togar horor membuat Sondang takut.
Tiba-tiba kapal bergerak membuat Sondang dan
Togar goyah. Kapal akan menuju pinggiran Danau Toba. Togar menarik tangan
Sondang kembali ke dalam kapal. Hari itu mereka kembali ke Medan.
Beberapa minggu kemudian Sondang sudah melakukan
aktifitas seperti biasa di perkotaan Medan.
Hari-harinya yang sibuk pun semakin sibuk karena mempersiapka pernikahannya
yang bisa dihitung hari. Sondang dan keluarganya sangat bahagia atas lamaran
Togar yang memang Togar adalah orang yang diidam-idamkan Mamaknya untuk jadi
menantu.
Terik mentari membakar kulitnya saat dia harus
melangkah pulang ke rumah sehabis dari kantor. Di rumah dia disambut Mamaknya
yang duduk termenung.
“Kenapa, Mak?” Tanya Sondang sambil
mengerutkan keningnya.
“Kok perasaan Mamak tidak enak yah?”
Wajah Mamaknya seperti menyimpan se-ton beban.
“Ah, sudahlah Mak. Jangan fikir macam-macam.”
Sondang menepuk pundak Mamaknya sambil masuk ke kamar untuk ganti baju.
Malam harinya, Sondang dan Mamaknya baru saja
pulang berjalan-jalan. Itu dilakukan Sondang untuk menyenangkan hati Mamaknya
yang sedang galau. Mereka sudah disambut Togar yang berdiri di teras rumahnya.
“Masuk ke rumah, yuk!” Kata Sondang.
Tetapi Togar menggeleng dan mengisyaratkan untuk tetap di teras saja. Mamaknya
masuk duluan.
“Ada
apa?” Tanya Sondang karena melihat seperti ada hal yang serius ingin
disampaikan.
“Maaf…” Kata Togar pelan.
“Maaf kenapa?” Wajah Sondang seperti
ketakutan dan berusaha mengikuti gerakan wajah Togar yang menunduk. Sondang
menunggu jawaban tetapi Togar dia membisu. “Hei!” Sondang
mengguncang-guncang tubuh Togar. Habis usaha Sondang memaksa Togar bicara
sampai Sondang bersimpuh di bawah kaki Togar. Sondang menutupi wajahnya yang
menangis.
“Kumohon bicaralah! Aku takut sekali.”
Tangis Sondang pelan agar tidak kedengaran Mamaknya di rumah.
Akhirnya Togar kasihan juga lalu membulatkan
tekad untuk berbicara serius pada Sondang walau itu akan menyakitkan hati
Sondang dan dia. Togar membantu Sondang berdiri dan mengusap airmata di pipi
Sondang.
“Maaf telah membuatmu ketakutan.”
Akhirnya Togar berbicara. “Per…pernikahan kita batal…”
BLAAARRRR!!! Bagai petir menyambar membuat hati
Sondang hancur berkeping-keping dan tak terselamatkan lagi. Spontan Sondang
yang emosi mendaratkan tangannya ke pipi Togar. PLAK!!!
“Kenapa? Kenapa kau langgar janji kita!!!”
Isak Sondang.
“Maaf… Aku sudah… punya calon yang lain.”
Togar terbata. Sekejap kemudian Sondang mencampakkan cincin pemberiannya ke
wajah Togar. Sondang berlari masuk ke rumahnya menahan tangisan apalagi
saat dia berpapasan dengan Mamaknya. Hati Sondang seperti dihempaskan dengan
kerasnya dari ketinggian kebahagiaannya yang terlebih dahulu muncul.
Keesokan harinya mata Sondang nanar memandangi
batu gantung yang ada di depannya. Wisatawan yang lain sibuk untuk foto-foto
tetapi Sondang terpana seorang diri. Hari itu dia tidak bekerja setelah
kepatahan hatinya yang diperbuat seseorang yang sangat dia cintai.
Tiba-tiba bergema kembali dalam ingatannya suara
Togar yang lantang menyatakan. “Barangsiapa melanggar perjanjian kita.
Nasibnya akan sama seperti batu gantung itu.” Sondang tak tahan
membendung airmata. Ternyata yang menghianati perjanjian itu adalah Togar
sendiri. Dia makin sedih bila pulang ke Medan
dan tanggal pernikahan sudah dekat. Pada hari H pasti para undangan akan datang
dan melihat tak ada pernikahan sama sekali. “Aku harus jawab apa?”
Gumamnya lirih.
Matanya melirik air danau toba yang kelam.
Menandakan sangat dalam. Sondang berjalan gontai mendekati pinggir kapal. Dan
memandangi bayangannya di air itu walau tidak jelas karena ombak.
“Aku ga sanggup… Pun aku ga sanggup
menanggung malu…” Mata Sondang terpejam membiarkan tubuhnya terjatuh
tetapi tangannya ditahan seseorang yang ternyata sedari tadi telah
memperhatikannya. Sondang terkejut melihat sosok di depannya adalah seorang
nenek tua penjual kacang.
“Jangan, Nak. Kau masih muda dan cantik
pula.” Kata Nenek itu sambil memeluk Sondang yang galau. Beberapa saat
kemudian Sondang dan Nenek penjual kacang sudah ada di daratan tepatnya di
terminal menunggu bus ke kota Medan. Sondang hanya bisa tersenyum malu
mengingat kebodohannya.
“Kalau dia pergi kabur. Berarti dia bukan
temanmu, sama seperti aku dulu saat harus keguguran. Aku galau dan hampir bunuh
diri. Oppung dolimu bilang bahwa bayi itu tidak mau berteman dengan kita
makanya dia kabur.” Nenek yang tak memiliki anak itu mengingat masa
lalunya.
“Iya, Pung.” Kata Sondang pelan.
“Kalau kau malu menjawab para undangan nanti.
Oppung harap kau kuat yah? Berdoa pada yang di atas.” Nenek itu mengelus
rambutnya lembut. Sebentar kemudian Sondang melangkahkan kakinya ke dalam bus
dan melambaikan tangan pada si nenek baik tadi.
Getir memang kehidupannya apalagi saat para
undangan menunggu di sopo tak ada pesta, bahkan ada yang mengirimi bunga papan
yang mengucapkan “Selamat Bahagia” padahal kenyataanya
pernikahan itu tak ada. Bahkan di lain tempat Togar sedang bersanding dengan
perempuan lain. Kasih tak sampai ini membuat Sondang terpukul. Janji yang
gampang terlontarkan membuat seseorang tak malu untuk mengingkarinya di
kemudian hari. Namun hidup tetap berjalan, sudah dipasrahkan Sondang lelaku itu
untuk wanita lain. Pun dia sudah menghapus segala dendam yang ada.
Cerita ini terinspirasi dari lagu batak yang
berjudul “Batu Gantung” oleh Rita Butar-butar. Sementara
kisah batu gantung yang asli pada dasarnya hampir sama yaitu sama-sama mengenai
kasih yang tak sampai. Mengenai seorang gadis yang galau memilih antara dua.
Yang pertama pemuda yang dicintainya. Dan yang kedua pemuda pilihan
orangtuanya. Pada dasarnya gadis itu tak mau menyakiti pemuda yang ia cintai
begitu pula Ibunya. Kemudian dia berniat bunuh diri ke danau Toba, namun dia
malah terperosok di salah satu lobang batu yang gelap. Yang secara
terus-menerus tiba-tiba batu itu bergerak merapat hampir menghimpit tubuh gadis
itu. Akhirnya gadis yang sudah kehilangan harap itu menjerit.
“Parapat batuuu!!! Parapat batuuuu!!!” Gadis itu pun
terhimpit. Tiba-tiba batu cadas itu bergetar dan bagian bawahnya berpatahan ke
bawah air danau Toba. Sesuatu yang menarik ternyata terbentuk tubuh gadis tadi
berupa batu sedang menggantung. Itulah sebabnya dinamakan batu gantung.
Sementara pekan yang ada di sekitarnya dinamakan PARAPAT. Karena jeritan gadis
tersebut dari dalam lubang batu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar